HANCURNYA
KERAJAAN SUWAWA
Di suatu kerajaan terdapat dua putra mahkota, yaitu Putra Mooduto dan
Pulumoduyo. Para pembesar negeri tidak bisa menentukan siapa di antara keduanya
yang bisa menggantikan raja. Untuk menentukan siapa yang pantas jadi raja dari
keduanya, diadakanlah pertandingan sepak takraw. Namun, yang dipakai bukan bola
biasa yang terbuat dari rotan, melainkan tombak. Permainan dipimpin oleh seorang
'talenga' atau juri yang sudah termashyur. Setelah pertandingan berlangsung keduanya
kehausan. Masingmasing mengambil seratus ujung tebu yang telah disediakan untuk
mereka. Putra Pulumoduyo memakan tebu-tebu itu mulai dari pangkal sampai ke
ujung, tetapi Putra Mooduto sebaliknya. Keduanya memberikan sisa tebu yang tak
habis dimakannya kepada rakyat yang ada di tempat itu. Tatkala itu penentuan sebagai
pengganti raja pun diadakan. Rakyat harus memilih dari apa yang telah dilakukan
oleh keduanya yang menurut mereka menandakan bahwa perbuatan itu menggambarkan
kemaslahatan bagi rakyatnya. Sebagian rakyat menyukai Pulumoduyo karena dia dapat
memilih yang terbaik untuknya sebab batang tebu yang manis dimakannya dan yang
kurang baik diberikan kepada orang lain. Sebagian lagi rakyat memilih Mooduto karena
dia memberikan yang terbaik kepada rakyatnya.
Bangsa Iyotogia berpendapat lain dalam mengambil keputusan. Apabila
Putra Pulumoduyo menjadi raja, beliau akan menberikan berkat kepada rakyatnya
sebab sudah menjadi ketentuan alam bahwa tiap orang harus menyelematkan dirinya
sendiri baru orang lain. Sebaliknya, jika Putra Mooduto menjadi raja, beliau memberikan
sesuatu kepada rakyatnya, tidaklah dengan hati yang ikhlas, dan selamanya akan
menyesali pemberian itu, mengingat yang buruk untuk dirinya dan terbaik untuk orang
lain. Oleh sebab itu, mereka mengambil kesimpulan bahwa Putra Mooduto tidak mencintai
rakyatnya. Bersama Talenga Pogambango bermufakat mengangkat Putra Pulumoduyo menjadi
raja. Atas anjuran Talenga Pogambango, rakyat Suwawa dijadikan dua bagian.
Bagian yang terkecil buat turunan Putra Mooduto, sedangkan sebagian besar untuk
Putra Pulumoduyo dan Pogambango yang mengepalainya. Selanjutnya, mereka diberi gelar
lyotogiya dan Padudutiya. Atas pembagian tersebut, kedua Putra mahkota tak
mengeluarkan pendapat apa pun. Pada suatu hari pergilah Pulumoduyo mengembara.
Para pengikutnya tak mengetahui ke mana tuannya pergi . Rakyat Iyotogia Padudutiya
merasa kehi langan dan rindu kepada Pulumoduyo. Beberapa di antara mereka
berangkat ke muara Sungai Suwawa untuk mencari kabar tentang Pulumoduyo. Di
sana mereka mendapat kabar bahwa Pulumoduyo sedang mengembara ke Sausu. Mereka
mencari sampai ke Sausu, Suwawa, dan ke Kerajaan Bone yang bernama Bonedaa. Sepeninggal
rakyat lyotogia-Padutiya dan Talenga Pongambango untuk mencari Pulumoduyo, rakyat
Timbale, Panimbalo, atau Litawaliti mengangkat Putra Mooduto menjadi raja.
Suatu saat bcrtemulah rombongan rakyat Iyotogia-Padutiya, Talenga Pogambango dengan
Putra Pulumoduyo. Pada saat itulah mereka mendengar kabar bahwa Putra Mooduto
telah diangkat menjadi raja. Pulumoduyo tidak mengatakan apa pun. Beliau diam
seribu bahasa.
Pogambango merasa terhina karena Mooduto tidak menunggunya sehingga ia
tak senang atas penobatan tersebut. "Saya tak akan menanggung hal-hal yang
akan terjadi," kata Pogambango. Setelah beberapa bulan tinggal di Suwawa,
Pulumoduyo belajar ilmu bela diri dan berbagai macam penggunaan senjata. Kebiasaannya
tidur tujuh hari tujuh malam sangat berguna baginya untuk melupakan kelakuan
adiknya. Beruntunglah Pulumoduyo adalah seorang yang sabar, jika tidak telah
dibunuhnya Mooduto. Untuk melupakan segala peristiwa tersebut, Pulumoduyo mengembara
dengan membawa empat puluh orang laki-laki. Mereka sangat gembira karena bisa bersama
Pulumoduyo. Mereka mengetahui bahwa Pulumoduyo adalah orang yang baik hati dan
tangkas dalam mempermainkan senjata. Pulumoduyo bermaksud meminjam anjing berburu
kepada Mooduto, tetapi tidak diperkenankan karena anjing itu penjaga kerajaan.
Pulumoduyo meninggalkan Suwawa keluar masuk hutan. Mereka makan sagu dan
mencari ikan di sungai. Mereka melakukan perjalanan sambil belajar ilmu bela
diri serta ketangkasan bermain senjata. Berbagai ujian telah mereka jalani.
Bagi yang tidak bisa melewati ujian akan tertinggal karena ilmu yang dimiliki
kurang, seperti melompat gunung yang terdapatjurang yang terjal. Beberapa
ternan mereka tertinggal di sana. Setelah tiga bulan berjalan, mereka sampai di
sebuah Gunung Huntulo-Bolodawa. Di sana mereka bertemu dengan pasukan yang
berjumlah empat puluh orang. Pulumodoyo bertanya, "Siapakah panglima pasukan
ini dan ke mana tujuan saudara-saudara ini?" "Saya adalah seorang
putra Raja Mongondow, nama saya Odahati.
Maksud perjalanan kami adalah hendak berkenalan dengan Pulumoduyo dari Suwawa
untuk menguji ketangkasan bersenjata," pemimpin rombongan itu menjelaskan.
Pulumodoyo hanya diam mendengar perkataan Odahati. Melihat keadaan anak muda ini
beliau tak sampai hati untuk meladeninya.
Hanya satu orang saingan, yaitu Pogambango. "Meskipun kedatangan Tuan
hanya untuk Pulumoduyo, tetapi sudikah Tuan beradu tenaga dengan saya? Ujilah dulu
kemampuan Dodoku murid Pulumoduyo. Marilah kita beristirahat sejenak di ternpat
ini." Kedua rombongan itu menguji ketangkasan bermain senjata, tetapi masih
seimbang. Suatu hari mereka menangkap sapi hutan untuk dimakan, tetapi di hutan
ini dilarang untuk membakar daging. Sapi itu boleh dimakan bila dimasukkan ke
dalam buluh (bambu air). Maka berkatalah Pulumoduyo, "Marilah kita
masing-masing pergi mengambil seruas buluh di dalam jurang sebab di sana banyak
tumbuh bambu. Mengambilnya agak sukar karena di sana banyak duri." Bambu
tumbuh di antara duri-duri itu. "Marilah kita menunjuk kejantanan kita
dengan mengambil bambu tersebut." Odohati menjadi bingung dan dalam
hatinya berkata, "Tak mungkin kami dapat mengambil bambu ke jurang itu
karena banyak duri di dalamnya.
Jika kita nekat melompat dan jatuh ke dalam jurang tak mungkin dapat kembali
lagi." Pengikut kedua pasukan itu mengaku tak bisa melakukan pekerjaan itu.
Melihat keadaan ini, Dodoku mendekati Odohati sambil berkata, "Sekarang datanglah
giliran kita berdua untuk menyelesaikan pekerjaan ini . Tuan lihat di sana
tertimbun daging sapi. Daging itu akan menjadi busuk jika kita tidak segera
mengambil buluh untuk memasaknya. Tuan tahu di hutan ini tidak dibolehkan untuk
membakar daging. Sebaiknya kita berdua mencoba mengambil buluh itu agar dapat memakan
daging tersebut." Odohati terrnenung sejurus dan berpikir, "Kalau aku
terjun ke jurang itu tentu akan terkait pada duri-duri itu." Kemudian, ia
berkata kepada Dodoku, "Tuanku sebagai murid Pulumoduyo coba perlihatkan ketangkasan
Tuan supaya kam·i dapat menyaksikan bagaimana tingginya ilmu Pulumoduyo." Dodoku
segera menghunuskan pedangnya dan melompat ke dalam jurang.
Diambilnya seruas buluh tanpa menginjak tanah dan kembali melompat ke gunung.
Delapan puluh dua kali ia melakukan hal itu. Odohati dan para pengikutnya tercengang-cengang
melihat ketangkasan Dodoku yang luar biasa. "Saya tak mau lagi pergi ke Suwawa,
sedangkan Tuan Dodoku yang hanya muridnya Pulumoduyo ternyata lebih tangkas dan
cakap dari kita semua, apalagi Pulumoduyo," ucap Odohati. Mereka mengisi
daging sapi tersebut ke dalam buluh. Pada siang hari, mereka bermain sepak
tombak. Mula-mula yang bermain adalah pengikut Odohati dan Dodoku. Pada
kesempatan terakhir keduanya turut bermain. Odohati mendapat giliran pertama.
Dilemparnya tombak setinggi-tingginya sehingga kelihatan sebesar sebilah pisau.
Kemudian, Dodoku melemparkan tombaknya sehingga tak Relihatan apa-apa. Saat
tombak itu kembali ke tanah disepaknya lagi. Selanjutnya Dodoku mengejar tombak
itu dan dipermainkannya di udara. Odohati sangat heran menyaksikan hal itu.
Ketika Dodoku turun, Odohati segera berjabatan tangan dengannya sambil berkata,
"Perjalanan saya ke Suwawa saya cukupkan sampai di sini, Jika saya kembali
ke tanah air, akan saya ceritakan bahwa Negeri Suwawa tak dapat dikalahkan."
Doddoku dan pengikutnya melanjutkan perjalan ke Xaidipan. Sampai di sana mereka
menghadap Raja. Segera dibunyikan canang untuk mengumpulkan penduduk. Setelah
penduduk berkumpul, Pulumoduyo menjelaskan asal-usulnya. Raja berkenan menerjma
Pulumudoyo untuk tinggal di istana karena mengetahui tingginya ilmu beliau.
Beberapa bulan kemudian, Pulumoduyo kawin dengan putri raja yang bernarna
Buangkulili.
Keduanya hidup arnan dan damai. Narnun, hal itu tak dapat berlangsung lama.
Pada suatu hari, Pulumoduyo bermohon kepada metiuanya untuk memerangi Mooduto, Raja
Suwawa. Niatnya itu tak memperoleh restu dari I3aginda sehingga gagallah
maksudnya. Pada suatu hari Pulumoduyo mendengar kabar bahwa Raja Mongondow mengadakan
sayembara untuk putrinya. Pulurnoduyo ingin mengikuti sayembara itu. (a
mengutarakan maksudnya kepada istri dan pengikut-pengikutnya. Mereka sangat
sedih karena harus berpisah dengan Pulurnoduyo, lebih-lebih Putri Buangkulili .
Pulumoduyo tidak membawa para pengikutnya karena ia pergi ke sana dengan menyamar
sebagai pengemis. Setelah berpamitan kepada Baginda, istri, dan para
pengikutnya, Pulumoduyo meninggalkan Kaidipan menuju Mongondow.
0 komentar:
Posting Komentar